Terdapat dua jenis Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh dalam UU Perpajakan, di antaranya SPT Masa PPh dan SPT Masa PPN.
Dan SPT Masa PPH Unifikasi merupakan penyederhanaan dari berbagai jenis SPT Masa PPh yang terdiri dari beberapa pasal pajak penghasilan, yakni pasal 23, 26, 4 ayat 2, 15, dan 22.
Sebagai warga negara yang terkena wajib pajak, merupakan suatu kewajiban juga untuk memahami tentang SPT yang satu ini.
Itu karena, SPT Masa PPh Unifikasi harus dilaporkan saat proses pemungutan pajak.
Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai SPT Masa PPh Unifikasi, maka simak artikel di bawah ini!
Apa Itu SPT Masa PPh Unifikasi?
Mari pahami terlebih dahulu tentang apa itu SPT Masa PPh Unifikasi sebagai awal mula pembahasan.
SPT Masa PPh Unifikasi ialah upaya yang dilakukan agar laporan pajak, yakni SPT, menjadi lebih sederhana dan seragam.
SPT ini umumnya dilaporkan setiap bulan atau satu masa pajak oleh wajib pajak, entah itu perorangan maupun badan usaha, dengan aplikasi pajak terbaik pilihan masing masing.
Proses penyederhanaan ini bertujuan untuk menyeragamkan beberapa jenis PPh, seperti PPh Pasal 22, pasal 15, pasal 23, pasal 26, serta pasal 4 ayat 2.
Untuk memudahkan proses pelaporan, keempat jenis pajak ini disederhanakan menjadi satu format pelaporan.
Lalu, bagaimana dengan PPh Pasal 21 dan 25? Untuk SPT Masa PPh Pasal 21, wajib pajak tetap harus melaporkannya secara terpisah.
Sedangkan untuk SPT Masa PPh Pasal 25, sudah tidak wajib lagi untuk dilaporkan asalkan wajib pajak mengantongi validasi NTPN (Nomor Transaksi Penerimaan Negara) pada SSP.
Dengan menyederhanakan beberapa jenis SPT Masa PPh di atas, maka pelaporan SPT yang mulanya perlu proses yang rumit, akhirnya jadi lebih simpel dan hemat biaya administrasi.
Hal ini tentunya dapat menguntungkan Anda selaku wajib pajak maupun pihak otoritas pajak selaku pemotong atau pemungut pajak.
Proses pelaporan SPT jadi tidak harus dilakukan secara berulang dikarenakan formulir serta format dari masing-masing SPT berbeda.
Dasar Hukum Penerapan SPT Masa PPh Unifikasi
Dasar hukum yang dipakai dalam penerapan SPT Masa PPh Unifikasi adalah Peraturan DJP Nomor PER-23/PJ Tahun 2020.
Isinya adalah tentang bentuk serta tata cara dalam pembuatan bukti pemotongan unifikasi seperti dalam ebupot unifikasi, mulai dari cara pengisian hingga pelaporan SPT Masa pajak penghasilan unifikasi.
Sebelum adanya peraturan ini, tata cara pembuatan pemungutan pajak penghasilan serta pelaporan SPT Masa PPh diatur dalam Peraturan DJP Nomor PER-20/PJ Tahun 2019.
Lalu, mengapa peraturan tersebut diperbarui? Tujuannya ialah untuk memudahkan para pemangku kepentingan pajak, seperti wajib pajak serta petugas otoritas pajak.
Dengan adanya pembaruan ini, aturan dan hukum tentang pemotongan PPh serta pelaporan SPT Masa PPh jadi lebih pasti dan spesifik.
Sesuai dengan peraturan terbaru yang diberlakukan tersebut ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Pihak pemotong atau pemungut PPh wajib membuat serta menyerahkan bukti pemotongan unifikasi kepada pihak yang dipotong, bisa berupa kertas maupun file.
Baru kemudian pemotong PPh dapat melaporkannya ke DJP menggunakan SPT Masa PPh Unifikasi.
Jika bukti yang diserahkan berupa file atau dokumen elektronik, maka pemungutan PPh unifikasi dilaporkan melalui aplikasi yang ada di laman Direktorat Jenderal Pajak.
Masing-masing bentuk bukti pemungutan pajak penghasilan, baik dalam bentuk kertas maupun file, punya kriteria tersendiri.
Untuk kriteria bukti pemungutan yang berupa formulir kertas, dapat dikatakan sah dan bisa dipakai oleh pihak pemungut PPh adalah sebagai berikut:
- Jumlahnya tidak lebih dari dua puluh bukti pemungutan unifikasi dalam satu Masa PPh.
- Nilai dasar pengenaan PPh kurang dari Rp. 100.000.000 untuk tiap bukti pemungutan unifikasi dalam satu Masa PPh.
Sementara itu, pembuatan efaktur dengan aplikasi efaktur pajak resmi untuk bukti pemungutan PPH unifikasi yang berbentuk file harus memenuhi kriteria tertentu, antara lain:
- Jumlahnya harus lebih dari dua puluh bukti pemungutan unifikasi dalam satu Masa PPh.
- Nilai dasar pengenaan PPh harus lebih dari Rp. 100.000.000 dalam satu Masa PPh untuk setiap bukti pemungutan unifikasi.
- Pihak pemungut harus membuat bukti pemungutan unifikasi untuk objek pajak, yaitu PPh pasal 4 ayat 2, atau diskonto Sertifikat Bank Indonesia, bunga deposito, giro, serta transaksi jual saham.
- Telah melaporkan Surat Pemberitahuan Masa Elektronik.
- Resmi terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, Jakarta Khusus, atau Madya.
Baca juga: Pengertian e-Bupot Unifikasi Serta Dasar Hukum dan Ketentuannya
Apa Saja Informasi yang Dibutuhkan dalam SPT Masa PPh Unifikasi
Untuk bisa membuat bukti pemungutan atau pemotongan unifikasi, pihak yang dipungut wajib menyerahkan informasi terkait identitas mereka. Informasi tersebut meliputi:
- Bagi Wajib Pajak WNI: kartu NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan NIK (Nomor Induk Kependudukan) sebagaimana terdapat dalam e-KTP yang masih berlaku.
- Bagi Wajib Pajak WNA: kartu identitas perpajakan atau tax identification number. Wajib pajak WNA juga harus menyertakan Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak luar negeri apabila ingin menggunakan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Jenis-Jenis Formulir serta Informasi yang Termuat dalam SPT Masa PPh Unifikasi
Agar dalam proses pemungutan PPh unifikasi berjalan lancar dan tidak ketinggalan satu dokumen pun, maka Anda juga perlu mengetahui beberapa hal.
Misalnya jenis-jenis formulir serta informasi apa saja yang termuat di dalamnya agar Anda tahu bahwa dokumen yang diperlukan sudah lengkap dan sesuai ketentuan.
1. Jenis Formulir
Adapun jenis-jenis formulir SPT Masa PPh Unifikasi adalah sebagai induk Surat Pemberitahuan Masa PPh Unifikasi dan daftar Objek Pemungutan PPh Pihak Lain.
Selain itu, ada juga formulir rincian PPH yang disetor sendiri.
Jangan sampai ketinggalan daftar Bukti Pemungutan Unifikasi serta Daftar Surat Setoran Pajak, Bukti Pemindahbukuan PPh Pasal 15, 4 ayat 2, 23, 26, dan 22, serta Bukti Penerimaan Negara.
2. Informasi yang Termuat
Sementara itu, informasi yang termuat dalam Surat Pemberitahuan Masa PPh Unifikasi meliputi:
- Identitas pemungut pajak penghasilan
- Tahun atau Masa PPh
- Jenis pajak penghasilan
- Status Surat Pemberitahuan normal atau pembetulan
- Nilai dasar pengenaan PPh
- Jumlah pajak penghasilan yang dipungut, ditanggung oleh pemerintah, atau ditanggung sendiri.
- Nilai total pajak penghasilan.
- Jumlah total pajak penghasilan yang disetor pada Surat Pemberitahuan yang dibetulkan
- Besaran pajak penghasilan yang kurang atau lebih disetor karena pembetulan
- Tanda tangan serta nama terang pihak pemungut pajak penghasilan
- Tanggal pembuatan Surat Pemberitahuan Masa PPh Unifikasi
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas maka dapat Anda ketahui bahwa subjek dalam SPT Masa PPh Unifikasi adalah pihak pemotong atau pemungut pajak penghasilan.
Mereka memiliki kewajiban untuk membuat bukti pemungutan unifikasi serta SPT Masa PPh Unifikasi kemudian menyerahkannya kepada pihak yang dipungut.
Bukti tersebut nantinya harus dilaporkan kepada DJP menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPh Unifikasi.
Nah, demikianlah artikel mengenai SPT Masa PPh Unifikasi yang perlu Anda ketahui, entah itu sebagai wajib pajak maupun otoritas pajak.
Dengan adanya Surat Pemberitahuan ini diharapkan mampu meningkatkan ketaatan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya, serta mempermudah dan menekan biaya pelaporan.